Oleh: Fajar Kurniawan
“Bangsa kembali harus segera introspeksi diri”, mungkin inilah
kalimat yang cukup singkat untuk menggambarkan situasi dalam hiruk pikuk
gemerlap Hari Pendidikan Nasional saat ini. Satu pihak merefleksi berbagai
nilai yang dapat diadopsi dari momentum baik, namun di sisi lain masih turut
menggambarkan ada yang salah dengan pendidikan anak bangsa kini. Terasa
istimewa momentum yang baik ini beringinan dengan pengumuman hasil ujian
sekolah menengah, baik SMA, SMK, ataupun MA. Namun seperti biasa pemandangan
baju putih abu-abu yang dulu bersih dipenuhi coretan warna-warni yang dianggap
menandai kegembiraan kelulusan. Semakin pilu hati ini saat kelulusan itu
dinodai hingga meregang nyawa, dan itulah yang terjadi di Klaten salah satu
kota yang dapat dikatakan dekat dengan kota pelajar Jogjakarta.
Yang membuat hati
semakin sedih bahwasanya mereka adalah generasi penerus bangsa, generasi yang
akan melanjutkan estafet tongkat perjuangan para pahlawan, tapi kenapa justru
tindakannya jauh dari kata pahlawan bahkan justru lebih dekat dengan istilah
preman. Budaya ketimuran yang terkenal santun seakan mulai luntur dalam benak
anak bangsa, nilai itu tak lagi dipelajari, dipahami, apalagi diaplikasikan.
Jangankan menetralisir perkara dalam tawuran yang membudaya, untuk
meminimalisir budaya konvoi dan corat-coret seragam pun bangsa ini sulit.
Terdakang kita bingung mengapa hal seperti ini masih terus terjadi di tengah
predikat kaum terpelajar.
Namun sejatinya
itu semua baru segumpal peristiwa di hilir yang jelas terpampang oleh mata,
namun jarang terpantau sesungguhnya ada faktor x yang menyebabkan itu
semua terjadi yaitu mata rantai di hulu yang tak kunjung tuntas dan harus terus
dievaluasi. Kelulusan yang seharusnya penuh rasa syukur sering berlebihan
sehingga kesannya anak bangsa kini saat lulus merasa lega dan bebas. Apakah
belajar mereka dalam determinasi tinggi? Atau pendidikan kini menyebabkan
tekanan yang demikian hebat yang sebabkan mereka selebrasi kelulusannya
benar-benar bebas dari kata santun dan beradab. Sekali lagi ini harus
dievaluasi!
Anak bangsa ini seharusnya gembira dan
riang dengan pendidikan yang ada, semangat untuk belajar dan mendapat ilmu
serta wawasan baru dari sekitarnya, diantar orang tua ke sekolah dengan senyum
simpul manis, bahagia karena yakin bahwa ia mampu menggapai cita dan angannya
saat nanti lulus dari sekolah, tapi faktanya kelulusan kini ada yang harus
dibayar dengan nyawa. Mereka memang salah, namun sistem sebagai hulunya bisa
jadi adalah pelaku sesungguhnya yang menyebabkan banyak korban di hilir
No comments:
Post a Comment