Monday, May 4, 2015

Berbenahlah Pendidikan Bangsa


Oleh: Fajar Kurniawan

“Bangsa kembali harus segera introspeksi diri”, mungkin inilah kalimat yang cukup singkat untuk menggambarkan situasi dalam hiruk pikuk gemerlap Hari Pendidikan Nasional saat ini. Satu pihak merefleksi berbagai nilai yang dapat diadopsi dari momentum baik, namun di sisi lain masih turut menggambarkan ada yang salah dengan pendidikan anak bangsa kini. Terasa istimewa momentum yang baik ini beringinan dengan pengumuman hasil ujian sekolah menengah, baik SMA, SMK, ataupun MA. Namun seperti biasa pemandangan baju putih abu-abu yang dulu bersih dipenuhi coretan warna-warni yang dianggap menandai kegembiraan kelulusan. Semakin pilu hati ini saat kelulusan itu dinodai hingga meregang nyawa, dan itulah yang terjadi di Klaten salah satu kota yang dapat dikatakan dekat dengan kota pelajar Jogjakarta.

Yang membuat hati semakin sedih bahwasanya mereka adalah generasi penerus bangsa, generasi yang akan melanjutkan estafet tongkat perjuangan para pahlawan, tapi kenapa justru tindakannya jauh dari kata pahlawan bahkan justru lebih dekat dengan istilah preman. Budaya ketimuran yang terkenal santun seakan mulai luntur dalam benak anak bangsa, nilai itu tak lagi dipelajari, dipahami, apalagi diaplikasikan. Jangankan menetralisir perkara dalam tawuran yang membudaya, untuk meminimalisir budaya konvoi dan corat-coret seragam pun bangsa ini sulit. Terdakang kita bingung mengapa hal seperti ini masih terus terjadi di tengah predikat kaum terpelajar.

Namun sejatinya itu semua baru segumpal peristiwa di hilir yang jelas terpampang oleh mata, namun jarang terpantau sesungguhnya ada faktor x yang menyebabkan itu semua terjadi yaitu mata rantai di hulu yang tak kunjung tuntas dan harus terus dievaluasi. Kelulusan yang seharusnya penuh rasa syukur sering berlebihan sehingga kesannya anak bangsa kini saat lulus merasa lega dan bebas. Apakah belajar mereka dalam determinasi tinggi? Atau pendidikan kini menyebabkan tekanan yang demikian hebat yang sebabkan mereka selebrasi kelulusannya benar-benar bebas dari kata santun dan beradab. Sekali lagi ini harus dievaluasi!

Anak bangsa ini seharusnya gembira dan riang dengan pendidikan yang ada, semangat untuk belajar dan mendapat ilmu serta wawasan baru dari sekitarnya, diantar orang tua ke sekolah dengan senyum simpul manis, bahagia karena yakin bahwa ia mampu menggapai cita dan angannya saat nanti lulus dari sekolah, tapi faktanya kelulusan kini ada yang harus dibayar dengan nyawa. Mereka memang salah, namun sistem sebagai hulunya bisa jadi adalah pelaku sesungguhnya yang menyebabkan banyak korban di hilir

No comments:

Post a Comment