Oleh: Fajar Kurniawan
Usia negeri yang mencapai 73 tahun, bukanlah usia muda bagi sebuah
bangsa. Ibarat manusia usia itu hanya tinggal menunggu bagaimana kita memilih
akhir hidup di dunia, akan kembali pada Sang Pencipta dalam keadaan su’ul
khatimah ataukah khusnul khatimah. Negeri dengan persebaran pulau
dan penduduknya ini, yang jika diangkat luasnya mampu menutupi Eropa seharusnya
mampu lebih dahsyat dari Negara tetangga, namun opini bahwa “Pendidikan hanya
mimpi bagi orang-orang jelata masih sering ditemui di khalayak ramai apalagi
pendidikan tinggi.” Ekonomi tentu menjadi problematika nomor satu penyebab
belum meratanya persebaran pendidikan, bagaimana kesenjangan pendidikan kota
dengan desa, fasilitas yang belum tentu ada, hingga ketidakseimbangan materi
pendidikan siswa.
Banyak yang
menilai pendidikan Indonesia semakin melenceng dari cita-cita bangsa dan itu
semuanya dinilai dari beberapa faktor yang dapat diamati. Pertama, kecenderungan pendidikan Indonesia yang semakin elitis
dan sulit terjangkau rakyat miskin. Dalam hal ini, pemerintah dituding membuat
kebijakan yang diskriminatif sehingga menyulitkan rakyat kecil mengakses
pendidikan. Kedua, lahirnya sistem pendidikan yang tidak memberdayakan.
Dalam konteks ini, kebijakan yang dibentuk semata-mata untuk mendukung status
quo dan memapankan kesenjangan sosial. Ketiga, kurangnya orientasi
pendidikan terhadap pembangunan moral. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat
realitas anak-anak yang bertindak amoral, sehingga sering dikatakan pendidikan
minus budi pekerti.
Mewujudkan pendidikan yang layak dan pemerataan, lambat laun memang
sudah diusahakan dengan berbagai program bantuan dan beasiswa secara bergilir
menghampiri anak bangsa, namun ini dinilai masih kurang dan sering tidak tepat
sasaran. Belum lagi jika bicara muatan pendidikannya, yang lebih didominasi
kognitif ketimbang membangun karakter manusia. Pendidikan kini banyak mengejar
nilai angka daripada etika kehidupannya, etika hanya sering tergambar dalam
deretan angka daripada aplikasi nyata. Sehingga sering muncul istilah tidak ada
perbedaan antara manusia yang berpendidikan dan tidak berpendidikan, itu semua
karena apa yang sering kita saksikan di layar kaca, media, bahkan depan mata.
Etika ini
seharusnya tercermin dalam moral yang diadopsi oleh pendidikan itu sendiri.
Lembaga pendidikan melakukan pembiasaan moral yang baik sehingga mampu
diterapkan dalam sendi kehidupan. Manusia harus menyadari bahwa pendidikan
bukan hanya mengejar angka belaka, namun pendidikan adalah media untuk mencetak
manusia yang benar-benar berakal, berbudi luhur, dan tentunya berguna bagi
nusa, bangsa, dan agama. Banyak hal sebenarnya yang dapat dilakukan untuk
merealisasikan konsep pendidikan bernilai moral atau yang kini sering disebut
pendidikan karakter, tidak cukup hanya sebatas dalam silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu yaitu praktek
dan pelaksanaan. Mulai saja dengan contoh mudah dengan taat peraturan di sekolah
dan menegakkan disiplin. Karena pembiasaan baik seseorang akan terbiasa baik,
karena terbiasa baik berbagai keputusan yang diambil secara tidak sadarpun
adalah keputusan yang baik, dan bila ini terus ada berulang-ulang maka akan
membentuk karakter seorang manusia.
Para pendidik harus memahami bahwa misi pendidikan
adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Jangan sampai
generasi itu terputuskan dengan begitu saja. Ilmu yang dimaksud antara lain:
pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara umum
penularan ilmu tersebut telah diemban oleh orang-orang yang terbeban terhadap
generasi selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi ke depan,
yaitu menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab. Betapa sangat pentingnya
pendidikan ini, bahkan negara-negara yang maju pun tentunya tidak akan terlepas
dari peran pendidikan untuk membangun sumber daya manusia yang ada. Di sisi lain, pendidikan harus melibatkan semua kepentingan, baik
pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat. Maka langkah awal yang perlu dilakukan
adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang
berkesinambungan. Dengan demikian keluarga sebagai sekolah pertama bagi manusia
harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi
pembelajaran di sekolah yang memperkuat proses pembentukan karakter tersebut.
Selain itu, generasi berikutnya memerlukan teladan minimal dalam
keluarganya, sekolahnya, dan masyarakatnya. Sebagaimana slogan Bapak Pendidikan
Nasional yaitu “Ing Ngarso Sung Tulodho” di depan memberikan teladan.
Karena meniru itu lebih mudah daripada memulai sebuah hal baru, sehingga
diharapkan apa yang akan ditiru oleh generasi ke depan adalah nilai-nilai
keberadaban yang baik. Di momen Hari Pendidikan Nasional ini sudah sewajarnya
kita merefleksi kembali karakter figur pendidikan bangsa yaitu Ki Hajar
Dewantara yang merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia, lewat
Taman Siswanya beliau berikan kesempatan pribumi jelata untuk kenal pendidikan
selayaknya priyayi zaman Belanda. Ia menciptakan semboyan Tut Wuri Handayani
yang hingga kini digunakan slogan Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia.
Namanya turut diabadikan sebagai nama salah satu kapal perang Indonesia, yaitu
KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan dalam pecahan uang kertas Rp.
20.000,- tahun emisi 1998. Ia turut dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang
ke-2 oleh Presiden RI Ir. Soekarno tanggal 28 November 1959. Dalam
perjalanannya, ia tidak melaluinya dengan mudah bahkan hingga diasingkan ke
Bangka, namun yang terjadi justru itu yang melecutnya untuk berjuang membela
Bangsa Indonesia. Ini yang seharusnya diadopsi anak bangsa, walaupun berada
dalam kondisi terpuruk, manusia tak boleh berputus asa apalagi untuk terus belajar
dan membela tanah air tercinta.
Karena
hakikatnya, pendidikan akan mempengaruhi pola pikir manusia yang mampu
memperjuangkan nasib dan kemerdekaannya. Selamat Hari Pendidikan Nasional!
No comments:
Post a Comment